Perpanjangan Kontrak Freeport Indonesia

Minggu, 20 Desember 2015

Siapa itu Freeport Indonesia?


PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.


Freeport Indonesia saat ini menjadi berita hangat di kalangan para akademisi dan pengamat tambang karena kontrak karya mereka sebentar lagi akan berakhir, tepatnya pada tahun 2021. Hal utama yang menjadi pertanyaan terbesar mereka adalah 

“Layakkah Freeport Indonesia mendapatkan perpanjangan kontrak karya untuk mengeksplorasi tanah Papua? “


Berikut adalah kajian dan pendapat kami dalam menjawab pertanyaan terbesar bagi khalayak ini :

Sisi ekonomi

Jika kita melihat dari sisi ekonomi pada perpanjangan kontrak PTFI, kita dapat menemukan bahwa akan terdapat kerugian yang sangat besar. Pada kontrak karya 1 luas wilayah dari area pertambangan adalah 11.000 hektar menjadi berkembang hingga mencapai 2626 Juta Hektar. Namun besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 yang tergolong sangat kecil untuk ukuran proyek sebesar Freeport. Fakta kerugian juga didapati dari kebijakan untuk membebaskan Freeport dari tax dan mendapatkan wewenang tersendiri dalam mengatur manajemen dan operasi, seperti kelonggaran fiskal. Selain itu pula terdapat ketidak sesuaian struktur pajak yang ada dengan angka hanya berkisar pada 35% yang jika kita dibandingkan dengan besar keuntungan yang didapatkan oleh Freeport, maka angka 35 untuk pajak tergolong sangat kecil.

Kerugian juga dapat dilihat dari kandungan mineral yang dimiliki Freeport Indonesia, walaupun Freeport indonesia mengaku hasil tambang utama mereka adalah tembaga, namun Freeport juga meraup keuntungan yang besar dari tambang perak dan emas.  Sebagai contohnya adalah Grasberg. Grasberg sebagai salah satu tambang freeport di Papua yang merupakan tambang mineral terbesar di dunia, mengandung 18 juta ton tembaga, Perak 3400 ton dan kandungan emas 1600 Ton, dimana hal ini adalah menjadikannya sebagai tambang dengan kandungan mineral terbesar di dunia. Namun di sisi lain pula royalti yang didapatkan pemerintah hanya berasal dari penjualan bersih konsentrat mineral dimana nilainya 1-3,5% dari harga kotor dan biaya produksi, smelting dan lainnya. Ini yang membuat kerugian negara ditaksir mencapai triliunan dan masih akan terus bertambah lagi jika tidak segera di hentikan.

Sisi sosial

Pancasila mengajarkan kita untuk melakukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun fakta yang terjadi adalah kesenjangan antara pembangunan di daerah ibukota negara dengan pulau Papua tempat dimana segala kekayaan alam digerus oleh alat berat dan manusia. Belum lagi kita berbicara fakta yang ada menunjukkan bahwa pembangunan Papua hanya berada di sekitar pertambangan Freeport. Dan yang mengecewakan adalah perbedaan pelayanan dan pengaturan bagi masyarakat sekitar dan pekerja Freeport. Freeport tumbuh sebagai daerah terlarang bagi masyarakat asli Papua, sedangkan mereka bebas mengeruk kekayaan alam yang ada. Di balik  gembar-gembor CSR yang mereka galakkan pada pembangunan dan peningkatan kehidupan di Papua, semua terlihat semu dan sekedar pencitraan karena faktanya kehidupan di Papua masih dibawah angka kehidupan layak. Masihkah ingin tetap penindasan sosial terjadi terus menerus di Indonesia, khususnya di tanah kaya semacam Papua?

Sisi Hukum


Indonesia telah keluar dari cita-cita para Founding Father seperti yang bisa kita simak pada teks Pancasila dan UUD 1945. Selain keadilan sosial yang telah disebutkan pada poin sosial diatas, ternyata cita-cita bangsa Indonesia yang ingin mewujudkan kemerdekaan, kesatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran dilanggar oleh para penerus bangsa, tak terkecuali pada kasus Freeport. Bagaimana 3 cita-cita bangsa dihina oleh keberadaan dan aktivitas Freeport di tanah Papua. Bagaimana kita bisa mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran jika sumber daya alam terbesar di dunia yang dimiliki Indonesia hanya dinikmati oleh bangsa ini dengan angka 1-3,5 % saja. Belum lagi jika merunut pada UUD 1945 pasal 33 nomor 3 jelas dilanggar dengan sangat kejam oleh pemerintahan dan perusahaan Freeport. Bagaimana negara seakan tidak berkuasa atas kekayaan alamnya sendiri serta kebermanfaatan untuk kemakmuran bangsa Indonesia seakan tidak terasa sama sekali.

Harus diancungi jempol sebenarnya adalah usaha dari Pemerintahan SBY yang telah membuat Undang Undang no 4 tahun 2009 sehingga perusahaan mineral dan tambang tidak serta merta mengekspor bahan mentah alam Indonesia. Namun implementasinya belum maksimal karena banyak perusahaan yang belum menerapkan kebijakan ini dengan baik, salah satunya adalah Freeport. Salah satu kesepakatan dari UU ini adalah harus dibangunnya Smelter untuk pengolahan tembaga di Indonesia. Hingga saat ini bahkan kejelasan tentang pembangunan Freeport masih abu-abu, walau dikatakan akan dibangun di daerah Gresik. Keputusan ini dipertanyakan karena alasan jauhnya dari penambangan sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi daerah di sekitar pertambangan, yang tidak lain adalah tanah Papua.

Ditengah belum kejelasannya Freeport membangun smelter, namun perusahaan tersebut malah meminta kejelasan tentang perpanjangan kontrak. Mereka bahkan rela untuk sekedar meminta kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus. Padahal kontrak mereka masih akan habis pada tahun 2021 sehingga menyalahi UU no 4 tahun 2009 tentang Minerba yang mengharuskan IUPK untuk keluar setelah kontrak selesai yang artinya baru bisa setelah 2021 dan itu harus melalui mekanisme panjang dan lelang, bukan penunjukan lansung seperti yang diinginkan oleh PT. Freeport Indonesia
Pertanyaaannya, mau sampai kapan hukum Indonesia diinjak-injak untuk sekedar memuaskan perut negara lain? Bangun kawan

Konklusi


Berdasarkan kajian dan pendapat yang kami utarakan diatas, maka kami mendapatkan sebuah kesimpulan yang menunjukkan bahwa kami secara tegas MENOLAK PERPANJANGAN KONTRAK KARYA FREEPORT INDONESIA UNTUK MENGELOLA SUMBER DAYA YANG ADA DI TANAH PAPUA. Hal ini didasari pada 3 sisi utama yang menjadi pijakan pikiran kami, kami menemukan banyak kerugian dibandingkan keuntungan yang ada terkait keberlansungan kontrak karya yang selama ini terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pihak PT. Freeport Indonesia

Kelompok : B2 (Kontra)
Anggota :
  1.  M. Furqon Haq 5212100074
  2.  Rifqi Achmad Naufal  5212100075
  3. Ilham Kharisma Akbar 5212100141
  4. Syukur Ikhsani 5212100147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. Syukur Ikhsani.
Design by Herdiansyah Hamzah. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License