Dagelan Dunia Maya

Rabu, 23 Desember 2015

Source gambar : Kompasiana.com


Menatap malam minggu, saya asyik berselancar di dunia maya sejenak memperhatikan sanak famili dan handai taulan yang lewat di tampilan layar laptop dan telepon genggam. Tetiba,  imajinasi dan nalar saya menangkap fenomena baru di Indonesia. Fenomena yang sebenarnya ada dan sudah lama mengakar di kehidupan masyarakat namun muncul kembali dengan bentuk dan kemasan yang berbeda. Budaya ibu-ibu menonton tayangan gosip bertemu dengan bapak-bapak yang suka menghujat sana-sini di warung kopi menghasilkan anak muda yang suka bermain di jalanan dengan senjata di tangannya. Sejenak hampir tak ada beda jika kita melihat tampilan percakapan dan aktivitas di dunia maya, bukan?  Mereka nyatanya hanya pindah ruang dan dunia. Mereka kali ini bertemu dan saling menyapa melalui di era digital, namun dengan budaya yang tetap sama. Fenomena ini layak diganjar untuk menyandang nama “Digital Post-Esktremisme” ala Indonesia.

Acara infotainment di beberapa televisi duduk tenang di singgasana acara populer setiap tahunnya. Bahkan beberapa produser memutuskan untuk memasukkan bumbu “gosip” untuk menaikkan rating walaupun acaranya sekedar kontes nyanyi atau lawakan. Belum lagi melihat beberapa media berita dan iklan menyusupkan gosip untuk menaikkan rating. Mengapa ini terjadi? Karena masyarakat Indonesia dilahirkan untuk “kepo” dan gotong-royong . Mereka secara nyata peduli dan baik, namun diselewengkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk membentuk pola pikir yang salah. Siapakah orang yang tidak bertanggung jawab itu? Mereka yang berkuasa atas dana dan media. Pemberitaan dan publikasi yang semena-mena akhirnya melahirkan sebuah pemikiran sempit akan sebuah berita atau isu. Orang Indonesia yang mudah percaya akhirnya membentuk sebuah framing yang diambil dari apa yang dia baca dan ia yakini adalah sebuah kebenaran baginya. Lalu dia ingin semua orang tahu dan membaca apa yang ia yakini benar. Maka sebuah pemberitaan itu dia bagi melalui dunia maya atau nyata secara berantai sehingga memunculkan opini publik yang dapat mengubah hidup dan pikiran orang banyak.

Penyampaian di dunia maya dan nyata menjadi berbeda cerita lagi ketika kita seringkali ingin membuat dunia seakan bergoyang harus mengikuti kemauan dan pendapat. Mau halus menyindir atau kasar menyumpah serapah menjadi pilihan dalam berekspresi. Hal ini menimbulkan sebuah bentuk pemikiran baru yang ekstremis. Salah benar terjang. Kita sering tidak mengukur dalamnya kebenaran maupun hati lawan bicara atau pembaca. Asal sikat yang penting sesuai dengan keinginan dan pendapat. Kita memlih untuk meyakini apa yang diketahui atau lebih parah atas dasar omongan teman maupun kelompok. Jangankan gosip tentang manusia, broadcast pesan “sebarkan atau mati/tidak lulus” saja kita masih ada saja yang percaya dan menyebarkannya. Parah.

Budaya tidak mengaji dan asal sebar ini dilengkapi dengan tingkat emosional yang rendah yang dimiliki oleh mayoritas orang Indonesia. Tak sulit menemukan berita tawuran, pengeroyokan hingga pembunuhan yang didasari oleh adanya rasa saling tak suka dan sependapat. Dari hal yang tidak penting semacam berebut wanita hingga masalah pelecehan agama bisa menjadi penyebabnya. Luar biasa melihat tingkat keganasan dan keaktifan masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan emosi dan ketidaksukaannya hanya berdasarkan perbedaan. Tak heran Belanda zaman dahulu kala suka sekali menggunakan taktik devide et impera. Ya karena orang Indonesia memang gampang percaya dan dihasut serta dipancing emosinya. Labil sekali.

Tak ayal tiga aspek ini bersatu menjadi sebuah model baru di jagad sosial media. Berita simpang siur, debat kusir, hingga perang komentar menghiasi tampilan di layar. Mau artis, klub sepakbola, hingga pejabat jadi santapan lezat masyarakat netizen. Hal ini membuat kita seakan muak dan cenderung malas bahkan untuk sekedar melihatnya. Hal ini dikarenakan informasi yang beredar sudah tidak menyehatkan jiwa dan raga para orang-orang yang masih waras seperti kita. Saking parahnya pergerakan yang muncul di dunia digital hingga memaksa para pejabat untuk turun tangan. Kapolri sampai harus mengeluarkan surat edaran tentang ujaran kebencian. Bahkan terakhir ketua partai PKS ikutan mengimbau kadernya untuk bertingkah baik di sosial media karena sering ditemukan kasus yang menyangkut ujaran kebencian di wilayah politik.


Jadi apa yang perlu kita lakukan untuk mengurangi efek Digital Post Ekstremisme ini? Simpelnya sih kita harus lebih banyak belajar, membaca dan diskusi tanpa mengedepankan emosi. Kita harus lebih membiasakan diri untuk rendah diri dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu hal yang tidak senangi. Mengapa? Dunia digital itu keras. Salah sedikit, bisa tersebar tanpa bisa dihadang. Jadi daripada malu dan banyak dosa serta banyak musuh di kemudian hari, lebih baik kita berpikir dan berdiskusi lebih banyak sehingga yang didapatkan adalah ilmu dan pahala. Hidup hanya sekali, jangan dibuat menyesal hati ini, kawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. Syukur Ikhsani.
Design by Herdiansyah Hamzah. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License