Source gambar : Kompasiana.com |
Menatap malam minggu, saya asyik berselancar di dunia maya
sejenak memperhatikan sanak famili dan handai taulan yang lewat di tampilan
layar laptop dan telepon genggam. Tetiba,
imajinasi dan nalar saya menangkap fenomena baru di Indonesia. Fenomena
yang sebenarnya ada dan sudah lama mengakar di kehidupan masyarakat namun
muncul kembali dengan bentuk dan kemasan yang berbeda. Budaya ibu-ibu menonton
tayangan gosip bertemu dengan bapak-bapak yang suka menghujat sana-sini di
warung kopi menghasilkan anak muda yang suka bermain di jalanan dengan senjata
di tangannya. Sejenak hampir tak ada beda jika kita melihat tampilan percakapan
dan aktivitas di dunia maya, bukan?
Mereka nyatanya hanya pindah ruang dan dunia. Mereka kali ini bertemu
dan saling menyapa melalui di era digital, namun dengan budaya yang tetap sama.
Fenomena ini layak diganjar untuk menyandang nama “Digital Post-Esktremisme”
ala Indonesia.
Acara infotainment di beberapa televisi duduk tenang di
singgasana acara populer setiap tahunnya. Bahkan beberapa produser memutuskan
untuk memasukkan bumbu “gosip” untuk menaikkan rating walaupun acaranya sekedar
kontes nyanyi atau lawakan. Belum lagi melihat beberapa media berita dan iklan
menyusupkan gosip untuk menaikkan rating. Mengapa ini terjadi? Karena
masyarakat Indonesia dilahirkan untuk “kepo” dan gotong-royong . Mereka secara
nyata peduli dan baik, namun diselewengkan oleh orang yang tidak bertanggung
jawab untuk membentuk pola pikir yang salah. Siapakah orang yang tidak bertanggung
jawab itu? Mereka yang berkuasa atas dana dan media. Pemberitaan dan publikasi
yang semena-mena akhirnya melahirkan sebuah pemikiran sempit akan sebuah berita
atau isu. Orang Indonesia yang mudah percaya akhirnya membentuk sebuah framing
yang diambil dari apa yang dia baca dan ia yakini adalah sebuah kebenaran
baginya. Lalu dia ingin semua orang tahu dan membaca apa yang ia yakini benar.
Maka sebuah pemberitaan itu dia bagi melalui dunia maya atau nyata secara
berantai sehingga memunculkan opini publik yang dapat mengubah hidup dan
pikiran orang banyak.
Penyampaian di dunia maya dan nyata menjadi berbeda cerita
lagi ketika kita seringkali ingin membuat dunia seakan bergoyang harus
mengikuti kemauan dan pendapat. Mau halus menyindir atau kasar menyumpah
serapah menjadi pilihan dalam berekspresi. Hal ini menimbulkan sebuah bentuk
pemikiran baru yang ekstremis. Salah benar terjang. Kita sering tidak mengukur
dalamnya kebenaran maupun hati lawan bicara atau pembaca. Asal sikat yang
penting sesuai dengan keinginan dan pendapat. Kita memlih untuk meyakini apa
yang diketahui atau lebih parah atas dasar omongan teman maupun kelompok.
Jangankan gosip tentang manusia, broadcast pesan “sebarkan atau mati/tidak
lulus” saja kita masih ada saja yang percaya dan menyebarkannya. Parah.
Budaya tidak mengaji dan asal sebar ini dilengkapi dengan
tingkat emosional yang rendah yang dimiliki oleh mayoritas orang Indonesia. Tak
sulit menemukan berita tawuran, pengeroyokan hingga pembunuhan yang didasari
oleh adanya rasa saling tak suka dan sependapat. Dari hal yang tidak penting
semacam berebut wanita hingga masalah pelecehan agama bisa menjadi penyebabnya.
Luar biasa melihat tingkat keganasan dan keaktifan masyarakat Indonesia dalam
mengekspresikan emosi dan ketidaksukaannya hanya berdasarkan perbedaan. Tak
heran Belanda zaman dahulu kala suka sekali menggunakan taktik devide et
impera. Ya karena orang Indonesia memang gampang percaya dan dihasut serta
dipancing emosinya. Labil sekali.
Tak ayal tiga aspek ini bersatu menjadi sebuah model baru di
jagad sosial media. Berita simpang siur, debat kusir, hingga perang komentar
menghiasi tampilan di layar. Mau artis, klub sepakbola, hingga pejabat jadi
santapan lezat masyarakat netizen. Hal ini membuat kita seakan muak dan
cenderung malas bahkan untuk sekedar melihatnya. Hal ini dikarenakan informasi
yang beredar sudah tidak menyehatkan jiwa dan raga para orang-orang yang masih
waras seperti kita. Saking parahnya pergerakan yang muncul di dunia digital
hingga memaksa para pejabat untuk turun tangan. Kapolri sampai harus
mengeluarkan surat edaran tentang ujaran kebencian. Bahkan terakhir ketua
partai PKS ikutan mengimbau kadernya untuk bertingkah baik di sosial media
karena sering ditemukan kasus yang menyangkut ujaran kebencian di wilayah
politik.
Jadi apa yang perlu kita lakukan untuk mengurangi efek
Digital Post Ekstremisme ini? Simpelnya sih kita harus lebih banyak belajar,
membaca dan diskusi tanpa mengedepankan emosi. Kita harus lebih membiasakan
diri untuk rendah diri dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu hal yang tidak
senangi. Mengapa? Dunia digital itu keras. Salah sedikit, bisa tersebar tanpa
bisa dihadang. Jadi daripada malu dan banyak dosa serta banyak musuh di
kemudian hari, lebih baik kita berpikir dan berdiskusi lebih banyak sehingga
yang didapatkan adalah ilmu dan pahala. Hidup hanya sekali, jangan dibuat
menyesal hati ini, kawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar