Jokowi (Bukan) Presidenku

Rabu, 23 Desember 2015


“Ah, Presiden Boneka!”, “Pro Asing, semuanya dijual!”, “Janji Palsu, Blusukan Ora Manfaat” dan beragam hujatan dan hinaan dapat dengan mudah ditemui pada masa-masa digital seperti sekarang ini. Masa dimana sosial media dan kolom komentar yang awalnya merupakan sarana berpendapat bagi para masyarakat, hari ini mulai berubah menjadi sarana peperangan antar kubu yang berseberangan. Kubu pendukung Jokowi terkesan mendukung dan mendewakan, begitu juga sebaliknya pihak kontra Presiden yang berulang kali  menunjuk dan menginjak beliau seakan semua kejadian yang tidak enak yang terjadi di dunia ini adalah salah beliau. Hingga lelucon “Salah Jokowi” pun muncul di berbagai sosial media dan forum online ketika perdebatan terkait siapa yang salah pada insiden yang terjadi pada balapan motor di Malaysia ramai diperbincangkan. Dan yang menarik pertarungan tak hanya melibatkan masyarakat biasa, namun pejabat pemerintahan setingkat menteri pun ikut bertarung di arena media sehingga harus dihentikan oleh instruksi maupun pergantian menteri oleh Presiden sehingga sering menimbulkan berbagai polemik dan kegaduhan di dalam internal kabinet. Ini menunjukkan demokrasi di Indonesia sudah berada pada kondisi yang menggelikan.

Selain itu, masyarakat Indonesia terkenal aktif di dunia maya. Data yang dilansir “We Are Social”, sebuah agensi marketing sosial, menunjukkan bahwa ada 73 juta masyarakat Indonesia aktif di menggunakan internet pada tahun 2015, dengan 95% diantaranya aktif dalam berinteraksi melalui sosial media. Fenomena ini yang membuat semua informasi yang beredar di negara ini menjadi sebuah hal yang menakjubkan namun juga mematikan. Sebuah informasi dalam waktu sekejap mata tersebar tanpa bisa dihadang. Informasi yang diterima entah salah maupun benar, baik maupun buruk sudah tidak mungkin untuk dilakukan penyaringan lagi. Masih banyak masyarakat yang belum mengolah informasi yang didapatkan dengan baik sehingga fenomena ini bisa mendongkrak maupun menghancurkan reputasi dan popularitas seseorang, tak terkecuali Presiden kita yang sedang terkena imbas negatif. Beliau seperti kehilangan wibawa dan pengaruh di mata masyarakat Indonesia. Nasib Jokowi hari ini dapat dikatakan lebih buruk daripada zaman SBY ketika menjadi Presiden yang tetap disegani walau sempat dilambangkan secara tega oleh pengunjuk rasa bagaikan seekor hewan.

Kondisi yang mulai dianggap mengkhawatirkan ini akhirnya memaksa Kapolri untuk turun tangan. Surat edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian lansung dikeluarkan untuk seluruh jajaran Polisi se Indonesia. Tujuannya untuk lebih meningkatkan kepedulian kepada kasus Ujaran Kebencian dan memberikan beberapa panduan terkait menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini memberikan tanda “perang” kepada para kepolisian sebagai penegak hukum untuk lebih aktif bergerak dalam mengungkap kasus terkait ujaran kebencian.

Keluarnya surat edaran ini menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat. Beberapa kalangan menilai surat edaran ini seperti mengingatkan pada gaya “Orde Baru”. Mereka menganggap ini adalah usaha pemerintah untuk untuk mengurangi kegaduhan bertepatan dengan banyaknya kecaman dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Jokowi serta isu-isu sensitif seperti revisi UU KPK, perpanjangan kontrak Freeport, atau kasus korupsi crane di Pelindo yang menggoyangkan pemerintahan Jokowi saat ini seperti yang dilansir oleh sebuah surat kabar nasional. Selain itu, mereka berpendapat bahwa sudah ada produk hukum yang lebih tinggi yang sebelumnya telah mengatur terkait Ujaran Kebencian, seperti KUHP, UU ITE maupun Kebebasan Berpendapat di Muka Umum, dan lainnya sehingga surat edaran ini tak memiliki urgensitas yang tinggi untuk dikeluarkan oleh Kapolri saat ini, seperti yang diungkapkan oleh SBY di akun sosial media beliau.

Namun langkah yang diambil oleh Kapolri juga mendapat apresiasi dari beberapa lapisan masyarakat karena dapat menyelamatkan demokrasi Indonesia yang sudah terlewat batas. Terbukti, Kepolisian telah mengaku sedang memantau 180 ribu akun yang ditenggarai melakukan tindakan ujaran kebencian di media sosial. Minimal dengan surat edaran ini, masyarakat mendapatkan peringatan untuk lebih bijak dalam mengungkapkan pendapat di ranah umum, khususnya di dunia maya. Hal ini dikarenakan masyarakat belum peduli dan mengetahui bahwa sudah ada produk hukum yang mengatur berpendapat di muka umum serta efek yang didapatkan jika bermasalah dalam masalah ini. Padahal, ancaman hukuman dari kasus ini tidak main-main. Ambil contoh seperti pasal 310 ayat (1) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , jika kita sengaja menyerang kehormatan atau nama baik sesesorang di muka umum maka dapat diancam hukuman kurungan maksimal selama sembilan bulan. Selain itu, surat edaran ini juga menjadi sebuah dukungan bagi penegak hukum untuk lebih berani menyelidiki kasus ini karena kasus semacam Ujaran Kebencian ini berada pada kategori kejahatan “abu-abu” karena banyak celah hukum serta luasnya cakupan kasus yang bisa diusut maupun menjadi penghalang dalam penuntutan.

Menurut kacamata penulis, kasus ujaran kebencian yang selama ini beredar di media hari ini nyatanya telah mencederai dasar dan budaya bangsa. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang sering kita dengungkan dan banggakan ketika berbicara keragaman suku dan bahasa luntur saat kita saling bertukar pendapat mengenai politik, khususnya pasca Pilpres 2014 ini. Seharusnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat diaplikasikan dalam mengemukakan pendapat bagi para anak bangsa. Simpel, dengan berpendapat dengan santun, saling menghormati dan menghargai perbedaan, serta berpedoman pada data dan fakta.  Mendukung jika benar, mengoreksi jika salah. Bukan mendebat hingga berujung adu pendapat atau fisik yang lebih mengedepankan ego dan emosi semata.

Selain itu, masyarakat seharusnya mulai berpikir dan berpendapat dengan cara yang lebih intelektual. Caranya adalah membiasakan untuk membaca dan menganalisa sebelum berpendapat dengan mencari bukti tersahih berdasarkan data dan fakta terlebih dahulu. Jika informasi masih belum dapat dikatakan valid, maka selayaknya kita tidak menyebarkannya terlebih dahulu. Hal ini untuk menghindari perdebatan yang meruncing atau fitnah yang timbul dari informasi yang kita sebarkan. Apalagi informasi tersebut menyangkut kepala negara kita sendiri atau orang terdekat kita. Masalah yang timbul akan lebih runyam dan sensitif pastinya.

Oleh karena itu, diharapkan Surat Edaran dari Kapolri terkait Ujaran Kebencian bukan untuk dikecam atau dikritisi, namun menjadi momentum terbaik bagi kita.  Momentum untuk rakyat Indonesia untuk kembali bersatu dengan menurunkan tensi persaingan dan perdebatan di media apapun terkait Jokowi. Minimal dengan menggunakan bahasa yang lebih santun dan intelektual dalam mengemukakan pendapat. Pendapat yang kita ajukan juga seharusnya dapat membangun bangsa ini, apalagi jika ditambahkan dengan solusi-solusi sehingga kita tak hanya berbicara, namun juga beraksi untuk negara ini. Dan yang paling penting, ini juga menjadi momentum bagi kita untuk mengembalikan titah dan kehormatan serta kebanggaan terhadap kepala negara sekaligus kepala pemerintahan kita, Jokowi.


Ya, apapun pendapatmu dan pilihanmu
dulu dan sekarang, 
tetap Jokowi adalah Presidenku, 
Presiden kamu, 
Presiden kita semua, 
Presiden Negara Republik Indonesia.


Surabaya, Jawa Timur. 2015
Kelompok 2


Referensi :
Google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. Syukur Ikhsani.
Design by Herdiansyah Hamzah. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License